Rabu, 09 Juli 2014

Bring Back My Heart -> Bag 6

Bag 6

Akhirnya kurasakan juga gejolak cinta yang awalnya manis, namun berakhir dengan kepahitan. Semuanya menjadi begitu sempit. Merindukannya dalam diam, seperti penyakit yang sukar sembuh. Bukannya harus berakhir dengan obat yang mujarab. Tapi diracuni didepan mata sendiri. Pertama kalinya kusadari, airmataku terbuang sia-sia selama ini. Mengatakan dirinya bukan Arya, hal bodoh yang sangat kekanak-kanakan yang pernah aku dengar. Bahkan aku berharap tak pernah mendengarnya. Hatiku, pikiranku, bahkan ragaku tahu itu sebuah dusta. Tapi, bukan karena itu aku mulai membencinya sekarang. Aku benci karena harus bersedih, orang yang aku cintai dengan tulus sudah tak dapat kupercayai lagi. Nana, kenapa kamu bisa selabil ini.
Angin pantai membuat rambutku menari-nari dengan gemulai. Tumitku yang masih sedikit ngilu kuajak berjalan-jalan menyusuri pasir Pelabuhan Ratu yang hangat. Neyla mengikutiku dari belakang, asik dengan telepon genggamnya. Kekhawatirannya semakin menjadi, tak ingin aku hilang lagi. Tapi aku sama sekali tidak keberatan dengan rasa cemas Neyla. Bisa dibilang aku sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini.
“Na, kita berangkat sekarang yuk?”
“Aku yang nyetir?”
“Are you insane?!!”
“Ya makanya aku nanya.. Ney antar aku pulang ke Tasik !!”
“Tasik.. why?”
“Pengen aja, apa ada yang salah?”
“Nggak sih, tapi udah lama kamu nggak pulang kesana.. sejak..”
“Sejak aku memutuskan meninggalkan semuanya disana. Tenang aja Ney, aku kangen sama masa kecilku. Dan ada barang yang ingin aku ambil..”
“Apa? Barang apaan Na…” Neyla mengerutkan keningnya “Barang pemberian Arya?”
Aku hanya bisa menatap Neyla dengan wajah bingung tidak tahu harus menjawab apa. Neyla selalu tahu maksud dan keinginanku, aku seperti pencuri yang kepergok warga dan siap untuk dihakimi saat ini juga. Kutatapi pasir pantai yang basah oleh ombak. Neyla masih menunggu jawaban dariku. Ini mungkin membuatnya kecewa, tapi hanya aku yang yang tahu bahwa aku telah merubah hatiku. Sebagai sahabat dia mengerti saat aku tersenyum dengan kepalsuan. Tidak seharusnya aku membingungkan orang yang selalu mendampingiku hampir disetiap dukaku.
“Seperti itulah..” kumainkan pasir dengan kakiku, tak ingin menatap Neyla.
“Baiklah, kalau menurutmu itu yang terbaik!”
Suara Neyla terdengar berat. Aku terdiam memikirkan sesuatu untuk dikatakan. Tapi suaraku tercekat dikerongkongan. Entah kenapa ada perasaan sedih mendengar jawaban Neyla. Benarkah persahabatan yang aku rajut ini. Dia hanya ingin aku bahagia, dan selalu begitu kesimpulan yang hati kecilku buat. Lalu apa artinya seorang Neyla untukku? Tubuhku bergetar memikirkannya. Kuraih tangan Neyla berharap dia tahu aku bukan hanya sekedar beban untuknya. Dia memandangku dengan penuh rasa heran.
“Ney, apa artinya aku buat kamu? Kenapa kamu buang waktumu untuk orang seperti aku?”
“Maksud kamu?” Neyla terperangah mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba.
“Ya dimana seharusnya sekarang kamu berada jika kita tidak pernah bertemu. Aku ini bukan orang penting Ney, tapi kamu bersedia disampingku. Kenapa kamu tidak cari pacar, yang bisa buat kamu lebih bahagia daripada berkumpul dengan orang yang penuh luka seperti aku. Menurut kamu apa artinya aku buat kamu? Apa kamu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan konyolku?”
“Tumben ngomongnya banyak…” Neyla tersenyum.
“Jawab aja..”
“Nana kamu itu seperti jodoh buat aku, karena kita dipertemukan. Persahabatan kita ini sebuah takdir menurutku. Aku paham kalau kamu mulai bertanya-tanya. Tapi, banyak hal yang tidak kamu tahu tentang diriku. Aku berniat menceritakannya, tapi sepertinya kamu tidak pernah berniat mendengarkan semua cerita tentangku. Aku senang akhirnya kamu bertanya..”
“Apa aku sejahat itu ya Ney? Sampai-sampai nggak ada waktu buat dengerin kamu curhat..”
“Nggak gitu juga Na. Cerita tentang aku nggak jauh beda dengan yang kamu alami sebelum kita bertemu. Bedanya kita berada dalam waktu yang berbeda, dan kesamaannya kita punya mata yang sama tapi kamu telat menyadari suatu hal yang penting dalam cerita ini..” Neyla tersenyum.
“Aku nggak ngerti apa maksud kamu Ney? Apa hubungannya cerita kamu dengan aku. Bisa kasih kalimat yang mudah aku mengerti lagi?”
“Nana, suatu saat kamu bakal ngerti dengan kata-kataku tadi?”
“Jadi sebelumnya kamu sudah mengenal aku Ney?”
“Nggak kok..”
“Kapan kamu mau benar-benar bercerita tanpa memberi teka-teki padaku Ney?”
“Nanti-nanti saja ya Na, saat aku benar-benar siap?”
“Terserah kamu, kamu yang punya cerita Ney. Asal jangan kepanjangan aja ceritanya..”
“Tapi, ceritanya panjang Na..”
“eh..” kutatap mata Neyla dan “Hahahaaahahaaaaaa..” aku nggak sanggup menahan tawa melihat kepanikannya saat mengatakan ‘ceritanya panjang Na’. Seolah-olah dia tahu aku akan bosan mendengar ceritanya yang bisa diperkirakan tebalnya sama dengan Novel karya Ibnu Achmari.
“Na kamu ketawa? Beneran nih..”
“Iya tenang aja, aku dengerin cerita kamu Ney, sepanjang apapun itu..hhahaa”
“Na kamu ketawa? Setelah sekian lama… Nana..”

Kutinggalkan Neyla yang terbingah-bingah mendengar dan melihat tawaku yang lepas setelah sekian lama. Saatnya pulang ke kampung halaman…