Bag 6
Akhirnya
kurasakan juga gejolak cinta yang awalnya manis, namun berakhir dengan
kepahitan. Semuanya menjadi begitu sempit. Merindukannya dalam diam, seperti
penyakit yang sukar sembuh. Bukannya harus berakhir dengan obat yang mujarab.
Tapi diracuni didepan mata sendiri. Pertama kalinya kusadari, airmataku
terbuang sia-sia selama ini. Mengatakan dirinya bukan Arya, hal bodoh yang
sangat kekanak-kanakan yang pernah aku dengar. Bahkan aku berharap tak pernah
mendengarnya. Hatiku, pikiranku, bahkan ragaku tahu itu sebuah dusta. Tapi,
bukan karena itu aku mulai membencinya sekarang. Aku benci karena harus
bersedih, orang yang aku cintai dengan tulus sudah tak dapat kupercayai lagi.
Nana, kenapa kamu bisa selabil ini.
Angin
pantai membuat rambutku menari-nari dengan gemulai. Tumitku yang masih sedikit
ngilu kuajak berjalan-jalan menyusuri pasir Pelabuhan Ratu yang hangat. Neyla
mengikutiku dari belakang, asik dengan telepon genggamnya. Kekhawatirannya
semakin menjadi, tak ingin aku hilang lagi. Tapi aku sama sekali tidak
keberatan dengan rasa cemas Neyla. Bisa dibilang aku sudah terbiasa dengan
keadaan seperti ini.
“Na,
kita berangkat sekarang yuk?”
“Aku
yang nyetir?”
“Are
you insane?!!”
“Ya
makanya aku nanya.. Ney antar aku pulang ke Tasik !!”
“Tasik..
why?”
“Pengen
aja, apa ada yang salah?”
“Nggak
sih, tapi udah lama kamu nggak pulang kesana.. sejak..”
“Sejak
aku memutuskan meninggalkan semuanya disana. Tenang aja Ney, aku kangen sama
masa kecilku. Dan ada barang yang ingin aku ambil..”
“Apa?
Barang apaan Na…” Neyla mengerutkan keningnya “Barang pemberian Arya?”
Aku
hanya bisa menatap Neyla dengan wajah bingung tidak tahu harus menjawab apa.
Neyla selalu tahu maksud dan keinginanku, aku seperti pencuri yang kepergok
warga dan siap untuk dihakimi saat ini juga. Kutatapi pasir pantai yang basah
oleh ombak. Neyla masih menunggu jawaban dariku. Ini mungkin membuatnya kecewa,
tapi hanya aku yang yang tahu bahwa aku telah merubah hatiku. Sebagai sahabat
dia mengerti saat aku tersenyum dengan kepalsuan. Tidak seharusnya aku membingungkan
orang yang selalu mendampingiku hampir disetiap dukaku.
“Seperti
itulah..” kumainkan pasir dengan kakiku, tak ingin menatap Neyla.
“Baiklah, kalau menurutmu itu yang terbaik!”
Suara
Neyla terdengar berat. Aku terdiam memikirkan sesuatu untuk dikatakan. Tapi
suaraku tercekat dikerongkongan. Entah kenapa ada perasaan sedih mendengar
jawaban Neyla. Benarkah persahabatan yang aku rajut ini. Dia hanya ingin aku
bahagia, dan selalu begitu kesimpulan yang hati kecilku buat. Lalu apa artinya
seorang Neyla untukku? Tubuhku bergetar memikirkannya. Kuraih tangan Neyla
berharap dia tahu aku bukan hanya sekedar beban untuknya. Dia memandangku
dengan penuh rasa heran.
“Ney,
apa artinya aku buat kamu? Kenapa kamu buang waktumu untuk orang seperti aku?”
“Maksud
kamu?” Neyla terperangah mendengar pertanyaanku yang tiba-tiba.
“Ya
dimana seharusnya sekarang kamu berada jika kita tidak pernah bertemu. Aku ini
bukan orang penting Ney, tapi kamu bersedia disampingku. Kenapa kamu tidak cari
pacar, yang bisa buat kamu lebih bahagia daripada berkumpul dengan orang yang
penuh luka seperti aku. Menurut kamu apa artinya aku buat kamu? Apa kamu bisa
menjawab pertanyaan-pertanyaan konyolku?”
“Tumben
ngomongnya banyak…” Neyla tersenyum.
“Jawab
aja..”
“Nana
kamu itu seperti jodoh buat aku, karena kita dipertemukan. Persahabatan kita
ini sebuah takdir menurutku. Aku paham kalau kamu mulai bertanya-tanya. Tapi,
banyak hal yang tidak kamu tahu tentang diriku. Aku berniat menceritakannya,
tapi sepertinya kamu tidak pernah berniat mendengarkan semua cerita tentangku.
Aku senang akhirnya kamu bertanya..”
“Apa
aku sejahat itu ya Ney? Sampai-sampai nggak ada waktu buat dengerin kamu
curhat..”
“Nggak
gitu juga Na. Cerita tentang aku nggak jauh beda dengan yang kamu alami sebelum
kita bertemu. Bedanya kita berada dalam waktu yang berbeda, dan kesamaannya
kita punya mata yang sama tapi kamu telat menyadari suatu hal yang penting
dalam cerita ini..” Neyla tersenyum.
“Aku
nggak ngerti apa maksud kamu Ney? Apa hubungannya cerita kamu dengan aku. Bisa
kasih kalimat yang mudah aku mengerti lagi?”
“Nana,
suatu saat kamu bakal ngerti dengan kata-kataku tadi?”
“Jadi
sebelumnya kamu sudah mengenal aku Ney?”
“Nggak
kok..”
“Kapan
kamu mau benar-benar bercerita tanpa memberi teka-teki padaku Ney?”
“Nanti-nanti
saja ya Na, saat aku benar-benar siap?”
“Terserah
kamu, kamu yang punya cerita Ney. Asal jangan kepanjangan aja ceritanya..”
“Tapi,
ceritanya panjang Na..”
“eh..”
kutatap mata Neyla dan “Hahahaaahahaaaaaa..” aku nggak sanggup menahan tawa
melihat kepanikannya saat mengatakan ‘ceritanya panjang Na’. Seolah-olah dia
tahu aku akan bosan mendengar ceritanya yang bisa diperkirakan tebalnya sama
dengan Novel karya Ibnu Achmari.
“Na
kamu ketawa? Beneran nih..”
“Iya
tenang aja, aku dengerin cerita kamu Ney, sepanjang apapun itu..hhahaa”
“Na
kamu ketawa? Setelah sekian lama… Nana..”
Kutinggalkan
Neyla yang terbingah-bingah mendengar dan melihat tawaku yang lepas setelah
sekian lama. Saatnya pulang ke kampung halaman…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar