Bag 4
Mustahil, aku
sedang merasa duduk dikursi teras rumahku yang berada di Tasikmalaya. Kenapa
aku bisa disini, seharusnya aku pulang ke Bandung. Sudah dua tahun aku tak
pernah kemari. Buat apa aku kemari, dan dengan apa aku kemari. Sepi sekali,
kemana orang-orang. Begitu banyak pertanyaan dibenakku. Kubuka pintu rumah yang
tidak terkunci, gelap sekali. Padahal masih siang dan diluar sangat terang.
Kulangkahkan kaki masuk menuju ruang tamu, langkah yang berat. Kakiku terasa
sangat pegal, dan lemas. Kuraba-raba dinding, berharap tidak menabrak perabotan
yang seingatku sangat banyak. Berharap menemukan kamar masa kecilku, kamar yang
paling depan. Hebat, tak ada satupun perabotan yang aku tabrak. Hingga aku
merasa memegang sebuah gagang pintu. Kupastikan ini kamarku. Kubuka pintunya,
terasa sangat berat saat mendorong agar pintunya terbuka. Yang benar saja,
kamar ini sangat terang benderang. Bahkan aku tak pernah menyuruh orang untuk
memasang lampu tidur dikamar ini. Jumlahnya sangat banyak, aku tak dapat
menghitungnya. Kulangkahkan kakiku masuk kedalam, kupandangi sekitar. Semua
masih tampak sama, kecuali lampu-lampu tidur yang menempel didinding.
“Nana, kamu
masih ingat ini?” Arya duduk dikursi belajarku memegang sebuah kotak kecil
berwarna orange.
“Tentu saja,
itu pemberianmu..”
“Kau tak pernah
membukanya lagi?”
“Bukan tak
pernah, tapi tak ingin!!”
“Apa ini beban
buat kamu?”
“Tentu saja.
Semua kenangan singkat bersamamu itu beban dalam hidupku. Beritahu aku cara
meringankannya..”
“Kamu hanya
perlu percaya pada kotak ini. Karena isinya adalah bagian dari diriku. Kau
masih ingatkan..”
“Tentu saja.
Bagaimana aku bisa lupa!”
“Baguslah.
Karena kamu akan semakin mengingatnya mulai sekarang. Ini bagian dari diriku.
Jangan kau benci dia. Sempatkan waktu untuk melihatnya, dan jangan hanya
sekedar membukanya. Percayalah pada isinya, jangan lihat luarnya. Ruangan ini
sudah sangat terang untuk membuka sedikit hatimu. Kau akan mengerti maksudku..”
“Arya. Kamu
membuatku muak, berikan padaku kotak itu. Akan ku buang, agar kau lenyap. Aku
tahu ini hanya mimpi, aku tak berharap bertemu kamu disini. Aku akan segera
terbangun..”
“Kamu berubah
Nana..”
“Bukankah itu
permintaan terakhirmu dariku ‘Ubahlah dirimu dulu, supaya kamu dapat merubah
hidupmu’ kau lupa?”
“Aku tak
pernah lupa. Tapi kenapa baru sekarang? Perubahan apa yang kau harapkan dari
hidupmu yang selalu bergantung pada bayangan ku..”
“Ya, karena
pada akhirnya aku menyadari, kau tak nyata!! Hidupku tidak ada hubungannya
denganmu!!”
Ku rebut kotak
berwarna orange itu dari tangannya, dia hanya pasrah. Kubanting entah kemana.
Saat ku menoleh dia benar-benar sudah lenyap. Kucari disetiap sudut kamar ini,
tiba-tiba semuanya berubah menjadi gelap. Perlahan tapi pasti, kubuka mata
pelan-pelan. Kulihat cahaya putih bergerak-gerak didepan mataku. Ah , yang
benar saja. Aku memang sedang bermimpi, dan sekarang aku sudah terbangun.
Cahaya itu berasal dari seorang pria dengan kemeja merah berdasi, dan stetoskop
dilehernya. Cahaya itu dari sebuah senter yang diarahkan kemataku. Mungkin dia
dokter yang dipanggil Neyla untuk memeriksa kondisi kesehatanku pasca hilang.
“Sudah bangun
ya?” tanya dokter itu padaku.
“Eemm..”
jawabku, tak berminat bicara banyak.
“Oke. Sekarang
anda sarapan dan minum obatnya. Saya sudah bicara dengan teman anda, jadi anda
tinggal istirahat saja!!”
“Terima kasih.
Tapi saya harus siap-siap untuk pulang..” mencoba bangun dan “aww” kakiku
terasa sakit dan sulit digerakkan.
“Sudah saya
katakan istirahat saja, mungkin besok baru benar-benar pulih. Sedikit bengkak..”
“Besok?”
berarti satu hari lagi harus tinggal, membosankan.
“Iya, kalau
begitu saya pamit dulu. Mari..”
Aku hanya
mengangguk satu kali mempersilahkan sang dokter pergi. Harus minum obat, menjijikkan.
Aku tak suka obat atau jamu, bukan menyembuhkan. Tapi, malah membuatku sakit.
Pusing melihatnya, mual saat menelannya, dan seperti diberi racun terus berakhir
mati (obat dengan efek samping mengantuk). Neyla menghampiriku dan duduk dengan
tenang.
“Tunggu
sebentar, aku sudah pesan makanan untukmu. Enak nggak enak makan saja!!”
“Kamu marah
Ney?”
“Obatnya
diminum, kalau mau pulang besok!!” Neyla tak menghiraukan pertanyaanku.
Diambilnya anduk basah yang ada dimeja disamping tempat tidurku. Aku tak dapat
berkata, aku hanya cukup dengan mengerti perasaannya saat ini. Tanpa berkata
lagi ditempelnya handuk basah itu ditumitku yang sedikit lecet dan bengkak.
Kakiku terasa lebih baik.
Selang
beberapa menit menunggu. Seseorang wanita datang dengan nampan berisi bubur,
susu, dan roti. Neyla memang pengertian, dia membawakan tiga jenis makanan yang
tidak ku sukai. Banyak hal yang tidak kusukai didunia ini. Aku bukan pemilih,
tapi aku punya selera. Kutatap Neyla dengan serius, bisa dibilang aku melotot.
“Sudah makan
saja. Kamu butuh sesuatu yang mudah dicerna. Itu saran dokter..” titah Neyla
dengan nada dingin.
“Aku mau nasi
goreng dengan semangka..!!”
“Kamu bisa
mendapatkannya kalau saja kamu sudah makan sejak kemarin. Kamu hampir saja
terkena radang lambung, dan kamu sedikit demam. Dokter menyarankan untuk
dirawat, tapi aku rasa kamu tidak akan suka. Solusinya , makanlah ini
sekarang!!!” Neyla menyodorkan sendok berisi bubur kemulutku. Aku mengalah, dan
membuka mulut untuk bubur tanpa rasa itu.
“Emm, selang
infus? Apa aku terlihat begitu lemah dan menyedihkan?” tanyaku pada Neyla
sambil menelan sendok demi sendok bubur lembek itu.
“Kamu
menyedihkan, tapi kamu tidak lemah. Berjalan hampir 10km jauhnya tanpa alas
kaki dan suhu yang dingin. Aku pikir kamu cukup kuat, hingga berada dikawasan
Cibangban. Tenang saja kamu hanya perlu menghabiskan dua botol infus. Sesudah
itu kamu boleh melepasnya..”
“Buburnya udah
aja. Aku minta air putih, nggak mau susu. Mana obatnya? Aku mau tidur lagi dan
berharap ini cepat berakhir..”
“Nana, kamu
tadi malam?”
“Napa Ney?
Penasaran dengan yang terjadi padaku semalam. Aku tak berminat menceritakannnya
sekarang. Mungkin lain kali. Berikan obatnya!!”
Tanpa bertanya
lagi Neyla memberikanku air dan obat. Aku rasa dia sudah cukup terbiasa dengan
penolakanku. Ya Tuhan, bubur maupun obatnya benar-benar menjijikkan. Tapi aku
harus cepat pulih, aku ingin segera pergi dari tempat yang membuat dadaku penuh
sesak ini.
“Na, kamu
istirahat ya. Aku lelah, pengen tidur sebentar. Nanti siang aku beliin kamu
sesuatu yang enak dimakan..” Neyla beranjak ke kasur disebelahku. Wajahnya
memang tampak lelah, dia mencariku semalaman. Dia seorang sahabat, tapi
memperhatikanku seperti adikknya. Umurnya lebih tua setahun dariku. Mungkin
bertemu denganku suatu kesialan baginya, hingga dia harus menyayangi sahabat
yang buruk sepertiku.
“Ya, makasih
Ney..”
Aku harap efek
membunuh obatnya segera bekerja. Hingga aku bisa mati suri dengan cepat, dan
terbangun disaat aku benar-benar sudah baikan. Berharap mimpi dengan benar kali
ini, tak ada Arya di alam bawah sadarku. Kupejamkan mata perlahan, memancing
rasa ngantuk. Ya, karena aku bukan orang yang menghitung domba. Jadi hanya
perlu berfikir dan tidur.