Kamis, 06 Februari 2014

Bring Back My Heart -> Bag 4


Bag 4

Mustahil, aku sedang merasa duduk dikursi teras rumahku yang berada di Tasikmalaya. Kenapa aku bisa disini, seharusnya aku pulang ke Bandung. Sudah dua tahun aku tak pernah kemari. Buat apa aku kemari, dan dengan apa aku kemari. Sepi sekali, kemana orang-orang. Begitu banyak pertanyaan dibenakku. Kubuka pintu rumah yang tidak terkunci, gelap sekali. Padahal masih siang dan diluar sangat terang. Kulangkahkan kaki masuk menuju ruang tamu, langkah yang berat. Kakiku terasa sangat pegal, dan lemas. Kuraba-raba dinding, berharap tidak menabrak perabotan yang seingatku sangat banyak. Berharap menemukan kamar masa kecilku, kamar yang paling depan. Hebat, tak ada satupun perabotan yang aku tabrak. Hingga aku merasa memegang sebuah gagang pintu. Kupastikan ini kamarku. Kubuka pintunya, terasa sangat berat saat mendorong agar pintunya terbuka. Yang benar saja, kamar ini sangat terang benderang. Bahkan aku tak pernah menyuruh orang untuk memasang lampu tidur dikamar ini. Jumlahnya sangat banyak, aku tak dapat menghitungnya. Kulangkahkan kakiku masuk kedalam, kupandangi sekitar. Semua masih tampak sama, kecuali lampu-lampu tidur yang menempel didinding.
“Nana, kamu masih ingat ini?” Arya duduk dikursi belajarku memegang sebuah kotak kecil berwarna orange.
“Tentu saja, itu pemberianmu..”
“Kau tak pernah membukanya lagi?”
“Bukan tak pernah, tapi tak ingin!!”
“Apa ini beban buat kamu?”
“Tentu saja. Semua kenangan singkat bersamamu itu beban dalam hidupku. Beritahu aku cara meringankannya..”
“Kamu hanya perlu percaya pada kotak ini. Karena isinya adalah bagian dari diriku. Kau masih ingatkan..”
“Tentu saja. Bagaimana aku bisa lupa!”
“Baguslah. Karena kamu akan semakin mengingatnya mulai sekarang. Ini bagian dari diriku. Jangan kau benci dia. Sempatkan waktu untuk melihatnya, dan jangan hanya sekedar membukanya. Percayalah pada isinya, jangan lihat luarnya. Ruangan ini sudah sangat terang untuk membuka sedikit hatimu. Kau akan mengerti maksudku..”
“Arya. Kamu membuatku muak, berikan padaku kotak itu. Akan ku buang, agar kau lenyap. Aku tahu ini hanya mimpi, aku tak berharap bertemu kamu disini. Aku akan segera terbangun..”
“Kamu berubah Nana..”
“Bukankah itu permintaan terakhirmu dariku ‘Ubahlah dirimu dulu, supaya kamu dapat merubah hidupmu’ kau lupa?”
“Aku tak pernah lupa. Tapi kenapa baru sekarang? Perubahan apa yang kau harapkan dari hidupmu yang selalu bergantung pada bayangan ku..”
“Ya, karena pada akhirnya aku menyadari, kau tak nyata!! Hidupku tidak ada hubungannya denganmu!!”
Ku rebut kotak berwarna orange itu dari tangannya, dia hanya pasrah. Kubanting entah kemana. Saat ku menoleh dia benar-benar sudah lenyap. Kucari disetiap sudut kamar ini, tiba-tiba semuanya berubah menjadi gelap. Perlahan tapi pasti, kubuka mata pelan-pelan. Kulihat cahaya putih bergerak-gerak didepan mataku. Ah , yang benar saja. Aku memang sedang bermimpi, dan sekarang aku sudah terbangun. Cahaya itu berasal dari seorang pria dengan kemeja merah berdasi, dan stetoskop dilehernya. Cahaya itu dari sebuah senter yang diarahkan kemataku. Mungkin dia dokter yang dipanggil Neyla untuk memeriksa kondisi kesehatanku pasca hilang.
“Sudah bangun ya?” tanya dokter itu padaku.
“Eemm..” jawabku, tak berminat bicara banyak.
“Oke. Sekarang anda sarapan dan minum obatnya. Saya sudah bicara dengan teman anda, jadi anda tinggal istirahat saja!!”
“Terima kasih. Tapi saya harus siap-siap untuk pulang..” mencoba bangun dan “aww” kakiku terasa sakit dan sulit digerakkan.
“Sudah saya katakan istirahat saja, mungkin besok baru benar-benar pulih. Sedikit bengkak..”
“Besok?” berarti satu hari lagi harus tinggal, membosankan.
“Iya, kalau begitu saya pamit dulu. Mari..”
Aku hanya mengangguk satu kali mempersilahkan sang dokter pergi. Harus minum obat, menjijikkan. Aku tak suka obat atau jamu, bukan menyembuhkan. Tapi, malah membuatku sakit. Pusing melihatnya, mual saat menelannya, dan seperti diberi racun terus berakhir mati (obat dengan efek samping mengantuk). Neyla menghampiriku dan duduk dengan tenang.
“Tunggu sebentar, aku sudah pesan makanan untukmu. Enak nggak enak makan saja!!”
“Kamu marah Ney?”
“Obatnya diminum, kalau mau pulang besok!!” Neyla tak menghiraukan pertanyaanku. Diambilnya anduk basah yang ada dimeja disamping tempat tidurku. Aku tak dapat berkata, aku hanya cukup dengan mengerti perasaannya saat ini. Tanpa berkata lagi ditempelnya handuk basah itu ditumitku yang sedikit lecet dan bengkak. Kakiku terasa lebih baik.
Selang beberapa menit menunggu. Seseorang wanita datang dengan nampan berisi bubur, susu, dan roti. Neyla memang pengertian, dia membawakan tiga jenis makanan yang tidak ku sukai. Banyak hal yang tidak kusukai didunia ini. Aku bukan pemilih, tapi aku punya selera. Kutatap Neyla dengan serius, bisa dibilang aku melotot.
“Sudah makan saja. Kamu butuh sesuatu yang mudah dicerna. Itu saran dokter..” titah Neyla dengan nada dingin.
“Aku mau nasi goreng dengan semangka..!!”
“Kamu bisa mendapatkannya kalau saja kamu sudah makan sejak kemarin. Kamu hampir saja terkena radang lambung, dan kamu sedikit demam. Dokter menyarankan untuk dirawat, tapi aku rasa kamu tidak akan suka. Solusinya , makanlah ini sekarang!!!” Neyla menyodorkan sendok berisi bubur kemulutku. Aku mengalah, dan membuka mulut untuk bubur tanpa rasa itu.
“Emm, selang infus? Apa aku terlihat begitu lemah dan menyedihkan?” tanyaku pada Neyla sambil menelan sendok demi sendok bubur lembek itu.
“Kamu menyedihkan, tapi kamu tidak lemah. Berjalan hampir 10km jauhnya tanpa alas kaki dan suhu yang dingin. Aku pikir kamu cukup kuat, hingga berada dikawasan Cibangban. Tenang saja kamu hanya perlu menghabiskan dua botol infus. Sesudah itu kamu boleh melepasnya..”
“Buburnya udah aja. Aku minta air putih, nggak mau susu. Mana obatnya? Aku mau tidur lagi dan berharap ini cepat berakhir..”
“Nana, kamu tadi malam?”
“Napa Ney? Penasaran dengan yang terjadi padaku semalam. Aku tak berminat menceritakannnya sekarang. Mungkin lain kali. Berikan obatnya!!”
Tanpa bertanya lagi Neyla memberikanku air dan obat. Aku rasa dia sudah cukup terbiasa dengan penolakanku. Ya Tuhan, bubur maupun obatnya benar-benar menjijikkan. Tapi aku harus cepat pulih, aku ingin segera pergi dari tempat yang membuat dadaku penuh sesak ini.
“Na, kamu istirahat ya. Aku lelah, pengen tidur sebentar. Nanti siang aku beliin kamu sesuatu yang enak dimakan..” Neyla beranjak ke kasur disebelahku. Wajahnya memang tampak lelah, dia mencariku semalaman. Dia seorang sahabat, tapi memperhatikanku seperti adikknya. Umurnya lebih tua setahun dariku. Mungkin bertemu denganku suatu kesialan baginya, hingga dia harus menyayangi sahabat yang buruk sepertiku.
“Ya, makasih Ney..”
Aku harap efek membunuh obatnya segera bekerja. Hingga aku bisa mati suri dengan cepat, dan terbangun disaat aku benar-benar sudah baikan. Berharap mimpi dengan benar kali ini, tak ada Arya di alam bawah sadarku. Kupejamkan mata perlahan, memancing rasa ngantuk. Ya, karena aku bukan orang yang menghitung domba. Jadi hanya perlu berfikir dan tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar