Bag 3
Menyakitkan
ketika kamu menyadari bahwa selama ini kamu dibodohi oleh seseorang yang tulus
kamu cintai. Lebih menyakitkan lagi setelah kamu tahu dia hanya tampak
berpura-pura mencintaimu. Kenapa? Mengatakan dirinya bukan Arya. Lelucon
murahan. Padahal dari mata maupun hatiku, dia adalah orang yang dulu membuat
jantungku berdetak kencang. Apa dia mau mempermainkan aku, kenapa dia bisa ada
disini. Dulu saat dia meninggalkanku, berkata tak akan pernah kembali. Meskipun
begitu aku tak sesakit ini. Aku tak merasa dicampakkan sedikitpun. Tapi ini,
seperti sebuah pengkhianatan. Pertemuan yang tidak aku harapkan. Dia tahu aku
Nana, tapi dia sedang bermain-main dengan identitasnya. Terakhir kali aku
bertemu dengannya, aku melihat pasport keberangkatannya ke Inggris. Namanya
Arya Nindra, aku tak mungkin salah. Dan daya ingatku masih kuat, hingga sekarang
aku masih mengingat semua tentangnya.
Kemana aku
harus pulang. Daerah ini tampak asing bagiku. Neyla pasti cemas mencariku,
untungnya belum 24jam. Dia tidak akan melaporkan kehilanganku ke kantor polisi.
Dia memang sedikit berlebihan. Tanganku bergetar, kepalaku sedikit pusing. Aku
harus makan sesuatu. Ya Tuhan, aku tak pakai sendal. Aku ingat tadi aku
berjalan dipasir tanpa alas kaki. Orang-orang melihatku dengan aneh. Tentu
saja, ada perempuan berjalan tanpa alas kaki di malam hari. Apa lagi ditempat
keramaian. Aku berdoa Neyla menemukanku, dan berharap aku masih berada di Sukabumi.
“Oke Nana !!
Kamu harus kuat. Jangan sampai perasaan mu mengendalikanmu..” aku bergumam
sendiri untuk menguatkan diri. Malam semakin dingin, dan aku ingin segera
bertemu Neyla. Sejenak harus kulupakan kejadian beberapa menit yang lalu,
anggap ini hanya mimpi. Jangan terbawa suasana “Sial, aku lupa nama Hotelnya!!”
keadaan mulai memburuk. Mungkin memang benar aku sudah mulai pikun. Yang aku
ingat hanya Arya dan Arya. Tuhan, berikan jalan keluar.
Aku berjalan
tanpa henti. Tak ku hiraukan orang-orang yang melihatku. Meskipun hanya
beberapa. Aku yakin sudah berjalan selama satu jam, karena kakiku mulai sakit.
Badanku lemas. Ini sudah yang terburuk terjadi padaku didalam hidup. Sebelumnya
aku tidak pernah tersesat. Mungkin karena sudah malam, aku takut minta tolong pada
orang-orang asing. Aku tidak boleh terus begini, tidak mungkin aku jadi gembel
saat sedang berlibur. Aku harus fokus.
“Ayo Nana,
konsentrasi.. “ gumamku sambil memejamkan mata, dan “DAMN, aku berjalan
menjauhi pantai. Aku harus mencari pantai..” akhirnya aku sadar betapa tololnya
aku.
Kupejamkan
mata dan mulai mencoba merasakan darimana datangnya angin laut. Arahnya sedikit
kacau, tapi satu yang membuatku yakin. Putaran anginnya sangat kuat dibahu
kananku “Ya, dibelakang, ada dibelakangku..” akhirnya aku memutar arah, dan
berjalan lurus mengikuti putaran angin. Sial, ini pernah kulakukan dulu bersama
Arya. Dia yang mengajariku menemukan pantai dengan merasakan perputaran angin.
Untuk pertama kalinya, aku tak suka mendapati diriku mengingat tentang Arya.
Tapi tak apa, ini sedikit berguna. Kakiku benar-benar lecet, aku tampak buruk
dan menyedihkan.
Jangan memohon
pada Tuhan untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan, tapi mohonlah pada Tuhan
untuk apa yang pantas kamu dapatkan. Sepanjang perjalananku aku sudah memohon
puluhan kali pada Tuhan, untuk bertemu pantai. Dan ini yang pantas aku
dapatkan, aku bertemu Neyla berjalan bersama seorang pria. Ya aku tahu dia,
security di hotel tempatku menginap. Mereka mencari seseorang, tentunya aku.
Kulihat dia menghentikan langkahnya saat melihatku, dia pasti tak menyangka aku
akan sesial ini. Neyla berlari menghampiriku, diikuti pria yang menemaninya.
“Na, kamu
kemana sih? Kenapa sejauh ini..” pelukkannya menghangatkan badanku yang
menggigil dan lemas.
“Maaf, aku tersesat..”
“Kamu..
badanmu panas” Neyla memegang keningku “Pak Asep bisa gendong dia, kakinya
lecet Pak..”
“Iya Neng
bisa, sini saya bantu..” Pria yang Neyla panggil Pak Asep ini menggendongku
dari belakang. Aku terima saja, toh aku memang sudah tak sanggup untuk
berjalan.
Terkadang
bukan karena dusta kamu membenci seseorang, tapi karena sedih menerima
kenyataan bahwa dia tak bisa lagi kamu percaya. Yang kurasa, aku mulai
membencinya dan membenci situasi yang kurang menguntungkan ini. Berlibur untuk
bernostalgia ditempat pertama kali aku bertemu dengannya, yang kudapat kini
hanyalah penyesalan. Menyesal pernah mengizinkannya mendirikan tembok baja
dihatiku. Menyesal menghabiskan waktu untuk merindukannya. Menyesal terlambat
menyadari betapa bodohnya aku. Begitu banyak penyesalan, hingga hampir saja ku
ratapi detik-detik yang aku sia-siakan untuk membanggakan diri sebagai orang
yang ditinggalkan. Dapatkah aku melepaskan diri dari belenggu masa lalu yang
kuciptakan sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar